Laman

Rabu, 04 Mei 2011

Mewaspadai diare : hidup sehat dengan air bersih

Mewaspadai diare : hidup sehat dengan air bersih

Oleh: Umar

Musim hujan yang terjadi saat ini bukan saja melegakan hampir seluruh penduduk Indonesia tetapi juga membahagiakan hampir seluruh makhluk hidup yang merana karena kekurangan air pada saat musim kemarau kemarin. Tapi seiring berjalannya waktu mulailah terjadi persoalan - persoalan lama yang berkaitan dengan ulah manusia terhadap lingkungannya. Persoalan klasik seputar banjir, sanitasi yang buruk serta mewabahnya beberapa penyakit mulai merebak. Penyakit diare adalah salah satunya, dengan indikasi buang air besar lebih dari empat kali dalam sehari yang kadang-kadang disertai muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, telah banyak merengut jiwa manusia terutama anak-anak.
Penyakit Diare seringkali merupakan penyakit yang dianggap biasa saja oleh sebagian masyarakat, padahal berdasarkan laporan UNICEF (2002) hampir satu juta bayi dan anak balita diseluruh dunia meninggal karena diare setiap tahunnya. Dinas Kesehatan Jabar menyebutkan dari Januari hingga pertengahan Desember 2006 baru 11% dari13% target kasus diare yang dilaporkan dan kecenderungan meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 671.476 kasus (Pikiran Rakyat,14 Desember 2006). Apa yang diungkapkan oleh pernyataan diatas patut menjadi perhatian sekaligus keprihatinan kita, terlebih saat ini terjadi kecenderungan peningkatan angka kejadian diare akibat perilaku hidup yang tidak sehat . Apakah perilaku kita sudah mencerminkan budaya hidup sehat? Mengapa diare bisa terjadi dan bagaimana mengantisipasinya?.

Diare dan sanitasi

Ada beberapa elemen penting didalam menunjang kesehatan manusia, diantaranya adalah air bersih dan sanitasi yang baik. Namun sayangnya saat ini pemenuhan akan kebutuhan air bersih dan sanitasi yang baik belum berjalan dengan baik . WHO menyatakan bahwa lebih dari 1,1 milyar orang pada wilayah pedesaan dan perkotaan kini kekurangan akses terhadap air minum dan 2,6 milyar orang tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar.
Persoalan timbul ketika air yang tidak sehat ditambah dengan kurangnya sanitasi dasar serta perilaku hidup yang tidak sehat menjadi kebiasaan sehari-hari dari sebagian besar penduduk di negeri ini. Dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya nampak pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan Hal ini dapat dilihat dari kematian hampir 100 ribu balita/tahun akibat diare di Indonesia.
Diare disebabkan oleh kuman yang tertelan, terutama kuman dari tinja dan mengandung E.coli (Escherichia coli). E. coli adalah tipe bakteri fecal coliform yang biasanya terdapat pada usus binatang dan manusia. E. coli di dalam air adalah indikasi kuat adanya kontaminasi kotoran manusia atau hewan. Kotoran ini kemungkinan mengandung berbagai tipe organisme penyebab penyakit. Saat hujan E. coli melarut ke dalam selokan, sungai, danau atau air bawah tanah. Ketika air dari sumber-sumber ini digunakan dan air ini tidak dikelola dengan baik sesuai penggunaannya, bakteri ini bisa sampai di air minum kita.
Hal tersebut sering terjadi akibat kurangnya pemanfaatan jamban, buruknya kebersihan perorangan dan lingkungan serta kurangnya pemberian ASI (Air Susu Ibu) pada bayi. Diare menyebabkan dehidrasi atau kekurangan cairan dalam tubuh dan malnutrisi atau kekurangan gizi. Dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak lebih banyak meninggal akibat diare, karena mereka lebih cepat mengalami dehidrasi.

Perubahan perilaku

Derasnya urbanisasi ke wilayah kota telah memacu perkembangan pemukiman yang cenderung menyimpang dari RTRW dan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Banyaknya kawasan-kawasan rendah (Situ, Rawa, Danau) yang semula berfungsi sebagai tempat penampung air serta bantaran sungai yang berubah menjadi pemukiman, ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang membuang sampah ke sungai makin memperburuk kondisi ini.
Hasil penelitian Enviromental Services Program (ESP) USAID tentang" Air, lingkungan hidup dan kesehatan" yang dilakukan di Pulau Sumatera dan Jawa pada bulan Mei - Juni 2006 menunjukkan bahwa masyarakat tidak melihat adanya keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kesehatan dirinya. Secara khusus hal ini ditunjukkan dari pemahaman mereka terhadap penyebab diare, para responden melihat penyebab kejadian diare ini karena makanan, masuk angin dan cuaca (hujan dan kemarau). Bahkan ada anggapan diare ini disebabkan karena pengaruh ilmu klenik (perdukunan).
Pemahaman ini menjadi titik balik bagaimana masyarakat melihat sebuah penyakit yang mengarah pada pencegahan. Diare adalah salah satu penyakit yang ditularkan lewat air. Ketika masyarakat menganggap diare disebabkan karena makanan dan lainnya, yang tak terkait dengan air, maka upaya pencegahan kejadian diare bisa salah kaprah. Kerentanan terhadap diare juga semakin tinggi terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Wajar jika penyakit yang mudah disembuhkan ini bisa menyumbang pada tingkat kematian anak balita di Indonesia setelah infeksi saluran pernafasan (ISPA).
            Upaya-upaya pencegahan perlu dilakukan dengan melibatkan peran masyarakat sebagai aktor penyelenggara dengan didukung pemerintah sebagai fasilitatornya. Membangun jembatan yang menghubungkan kedua aktor penting ini menjadi sangat penting, mengingat keduanya memiliki ranah peran dan ruang lingkup sosial yang berbeda. Peran pemerintah didalam memberikan dukungan kepada masyarakat diantaranya adalah dalam hal sistem pembuangan air limbah dan sanitasi yang murah, perbaikan penyediaan air minum dan pengumpulan sampah.
Perubahan perilaku di tingkat individu menjadi penting karena mereka sebagai penerima manfaat sekaligus subyek sementara upaya-upaya peningkatan dukungan infrastruktur dan kebijakan menjadi dibutuhkan agar upaya tindakan pencegahan berjalan dengan baik serta mengarah pada satu tujuan. Menurut UNICEF (2002) dalam Facts for Life yang diadaptasi menjadi Pedoman Hidup Sehat oleh Departemen Kesehatan, ada beberapa cara dalam mencegah penyakit diare, diantaranya :
  1. Pembuangan tinja yang aman serta buang air besar di jamban
  2. Cuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan menceboki anak yang buang air besar, sebelum memberi makan anak, sebelum makan, atau menyiapkan makanan.
  3. Memastikan air minum yang dikonsumsi tidak terkontaminasi tinja, baik di rumah maupun di sumber air.
  4. Pemberian ASI dan pemberian makanan pendamping ASI yang bersih dan bergizi setelah bayi berumur 4 bulan.
  5. Mencuci dan menutup makanan untuk menghindari pencemaran makanan oleh serangga atau tangan yang kotor
Terjalinnya kerjasama antara keluarga, masyarakat, sektor swasta dan dukungan pemerintah maupun LSM dalam hal tindakan pencegahan dipastikan dapat menanggulangi penyebab penyakit diare dan hidup sehat dengan air bersih tidak hanya menjadi sebuah slogan dan mimpi semata, tapi dapat diwujudkan bahkan dengan cara yang paling sederhana sekalipun.

Penulis : Koordinator Program Katurnagari, dan anggota Kelompok Kerja Komunikasi Air (K3A), tinggal di Bandung